Pendidikan di Indonesiasangat diperhatikan oleh masyarakat Indonesia. Terbukti dari banyaknya artikel-artikel yang membahastentang pendidikan di Indonesia. Beberapa waktu terakhir ini pendidikan di Indonesia mendapat angin segar karena 20 % APBN dialokasikan untuk bidang pendidikan. Hal ini membawa dampak positif bagi pendidikan di Indonesia.
Pendidikan di Indonesiamemiliki sistem yang cukup baik akan tetapi pelaksanaan di lapangan masih jauh dari ketentuan yang berlaku. Misalnya penyelenggaraan ujian nasional. Ujian nasional yang telah disusun sedemikian dari sekian banyak ahli sering menemui kendala di lapangan. Banyak sekali ditemukan hal-hal yang tidak seharusnya terjadi dan dilakukan oleh para oknum yang berkecimpun di dunia pendidikan.
Banyak sekali para pendidik dengan alasan kemanusiaan membantu para anak didik mereka di ujian nasional. Padahal mereka tahu dan mengerti betul hal tersebut tidak bisa dilakukan. Mereka menganggap anak didik mereka tidak diperlakukan secara adil karena mereka mengenyam pendidikan di bangku sekolah dengan failitas yang sangat minim dan kurangnnya informasi mereka dapat tentang ujian nasional.
Pelaksanaan ujian nasionalmerupakan PR yang terus bertambah dari tahun ke tahun dan tak kunjung selesai. Pendidikan memang sangat sulit utamanya bagi para pendidik hal tersebut diperparah dengan disahkannya undang-undang HAM yang tidak membenarkan seorang pendidik memberikan siswanya sanksi ketika melanggar aturan melalui kontak fisik. Hal ini membuat anak didik tidak lagi menghormati dan menghargai guru-guru mereka.
Mungkin kita masih sering mendengar cerita-cerita orang tua kita dahulu betapa mereka sangat segan dengan guru-guru mereka. Berbeda dengan sekarang, para anak didik sering berlaku tidak hormat kepada guru-guru mereka dan bahkan ada yang sampai membuat guru-guru mereka menangis di dalam kelas.
Mendidik sungguh pekerjaan yang sangat berat dan melelahkan dan memang sangat wajar jika pemerintah membeikan perhatian khusus di bidang pendidikan. Karena generasi muda tanpa pendidikan akan membuat negara tercinta kita ini hancur di masa yang akan datang.
Minggu, 10 Januari 2016
ekosistem dunia pendidikan
Mewujudkan
ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter merupakan salah
satu visi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sayangnya, ekosistem
moral pendidikan kita belum terbangun karena penumbuhan budi pekerti
belum menyentuh pembentukan kultur sekolah sebagai komunitas moral.
Gebrakan awal
Mendikbud Anies Baswedan merevisi regulasi bermasalah, salah satunya
penghapusan fungsi ujian nasional (UN) sebagai syarat kelulusan.
Kebijakan UN sebagai syarat kelulusan telah melahirkan berbagai macam
kecurangan, baik individual maupun sifatnya terstruktur dan sistematis.
Langkah ini patut diapresiasi.
Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti merupakan langkah
kedua untuk memperkuat regulasi pembentukan karakter di lingkungan
pendidikan. Minimnya kemampuan dan minat baca anak Indonesia ditanggapi
dengan ajakan untuk membaca 15 menit sebelum memulai pelajaran. Untuk
menumbuhkan rasa cinta Tanah Air, insan pendidikan (guru-siswa) diajak
menggemakan lagu wajib nasional di ruang-ruang kelas dan melakukan
upacara bendera. Orangtua pun diminta mengantar anak pada hari pertama
masuk sekolah.
Apa yang
diperteguh melalui Permendikbud No 23/2015 sesungguhnya sudah banyak
dilakukan. Bahkan, di banyak sekolah, praksis-praksis baik itu sudah
lebih maju dan lebih kaya. Namun, di banyak sekolah kita, praksis
pembentukan karakter yang memperkuat lembaga pendidikan sebagai
komunitas moral belum banyak berkembang. Yang banyak dilakukan masih
bersifat kulit luar, seperti upacara bendera, 5S (senyum, salam, sapa,
sopan, santun), menyanyikan lagu nasional, atau praksis ritual
keagamaan.
Apabila kita
berbicara tentang lembaga pendidikan sebagai komunitas moral, yang jadi
fokus adalah pembentukan roh moral individu sebagai pembelajar. Artinya,
bagaimana lembaga pendidikan mampu menumbuhkan karakter individu
sebagai pembelajar sepanjang hayat secara otentik, pembelajar yang
memiliki visi moral dalam hidupnya. Upacara setiap minggu tidak akan
berarti, kebiasaan 5S akan tanpa makna bila individu tidak tumbuh
sebagai pembelajar.
Inkonsistensi kebijakan
Lembaga
pendidikan kita saat ini belum jadi sebuah ekosistem yang menumbuhkan
semangat belajar otentik. Contoh nyata dari tidak adanya ekosistem
pembelajaran yang menjadikan lembaga pendidikan sebagai komunitas moral
adalah adanya inkonsistensi kebijakan yang justru menjauhkan siswa dari
proses belajar dan menjauhkan guru dari proses pengajaran.
Inkonsistensi
pertama, di satu sisi Mendikbud telah mencabut fungsi UN sebagai syarat
kelulusan, tetapi tetap mempertahankannya sebagai syarat masuk ke
jenjang pendidikan lebih tinggi. Kebijakan ini akan tetap mempertahankan
UN sebagai high-stakes testing sehingga potensi kecurangan dan
manipulasi nilai tetap akan terjadi. Akibatnya, pembelajaran akan
berubah menjadi drilling dan sibuk melatih siswa mengerjakan soal begitu
kisi-kisi UN dikeluarkan pemerintah. Belajar menjadi kering, teknis,
dan tanpa jiwa.
Inkonsistensi
kedua, di satu sisi guru diberi kewenangan memberikan penilaian otentik
pada rapor siswa, tetapi di lain pihak nilai rapor dipakai sebagai
syarat kualifikasi jalur masuk perguruan tinggi negeri (PTN) tanpa tes
yang kuotanya sangat besar, yaitu 50 persen. Akibatnya, konflik
kepentingan. Banyak sekolah menginflasi nilai siswanya agar siswa
tersebut dapat masuk PTN tanpa tes. Logikanya sederhana, tak ada sekolah
yang tak ingin anak-anaknya tidak lolos dalam jalur undangan PTN.
Inflasi nilai
juga terjadi karena adanya kebijakan kriteria ketuntasan minimal (KKM).
Pemahaman KKM telah jauh melenceng dari maksud semula. KKM saat ini
dipahami sebagai nilai minimal dalam rapor. KKM ditentukan oleh sekolah.
Akibatnya, banyak sekolah-terutama sekolah negeri-berlomba-lomba
meninggikan KKM-nya. Sekolah yang menentukan KKM untuk mata pelajaran
tertentu 7, maka nilai dalam rapor siswa paling rendah adalah 7. Karena
nilai rapor dipakai sebagai syarat masuk PTN jalur undangan, banyak
sekolah berlomba-lomba menaikkan nilai KKM hingga tidak rasional.
Bahkan, ada sekolah yang menentukan sampai 9 sehingga nilai siswa untuk
mata pelajaran tertentu minimal 9.
Kebijakan KKM
yang sudah di luar nalar ini diperkuat lagi dengan aturan bahwa, agar
siswa dapat mengikuti UN, semua mata pelajaran harus tuntas. Artinya,
siswa tak akan dapat terverifikasi sebagai peserta UN bila masih ada
nilainya yang di bawah KKM yang ditentukan oleh sekolah. Karena itu, mau
tidak mau, semua guru akan memberikan nilai minimal KKM bagi siswa
kelas akhir agar siswa dapat mengikuti UN. Kalau nilai KKM-nya 9, guru
akan tutup mata memberikan nilai 9 dalam rapor meskipun faktanya
kemampuan siswa tersebut jauh di bawah 9.
Bagaimana bila
siswa dalam kenyataan sehari-hari kemampuannya sesungguhnya tidak layak
dapat 9? Pemerintah menganjurkan kebijakan remedial. Kebijakan ini
sesungguhnya baik karena remedial adalah berupa pengayaan pada materi
yang kurang. Namun, faktanya, guru sekadar memberi penugasan-penugasan
atau pengerjaan ulang soal- soal ulangan yang pernah diberikan guru.
Kebijakan
remedial kontraproduktif. Faktanya, justru para siswa semakin malas.
Belum ulangan sudah bertanya kepada guru kapan remedial. Yang
menjengkelkan bagi guru, sudah tidak belajar, malas, saat diminta
remedial siswa tidak datang atau tidak mengerjakan dengan baik. Namun,
akhirnya guru harus memberi nilai minimal KKM. Bila nilai di bawah KKM,
siswa tersebut tidak boleh mengikuti UN. Guru berada dalam tekanan
kepala sekolah bila memberikan nilai di bawah KKM, apalagi untuk siswa
kelas III.
Revisi kebijakan
Rantai kebijakan
pendidikan, mulai dari remedial, KKM, syarat rapor semester I, II, III
untuk seleksi masuk PTN jalur undangan tanpa tes, dan syarat nilai UN,
dan kriteria penilaian sikap, telah membuat lembaga pendidikan kita
gagal membentuk semangat pembelajar. Bahkan, ekosistem moral pembelajar
tidak terbentuk karena masing-masing kebijakan ini sama sekali tidak
mendorong proses pengajaran dan pembelajaran yang otentik.
Kemdikbud harus
berani merombak dan merevisi kebijakan pendidikan yang inkoheren dalam
rangka melahirkan sekolah sebagai komunitas moral yang fokus pada
penumbuhan semangat pembelajar yang otentik. Caranya adalah dengan
menghapuskan konsep KKM, merevisi kriteria penilaian sikap,
menghilangkan kebijakan jalur seleksi masuk PTN undangan tanpa tes
dengan kuota 50 persen, dan melepaskan UN sebagai syarat untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya dan merevisi penilaian
sikap.
Mewujudkan ekosistem pendidikan dan
kebudayaan yang berkarakter hanya mungkin bila Kemdikbud berani merevisi
berbagai kebijakan pendidikan yang kontraproduktif bagi lahirnya
ekosistem moral pendidikan yang bermakna.
Langganan:
Postingan (Atom)